Sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat atas berkah alam dari yang maha kuasa, tumbuh adat dan tradisi turun temurun yang diinisiasi kasultanan Yogyakarta berupa Labuhan Merapi di bagian Utara dan Labuhan Parangkusumo di sisi Selatan. Upacara ini dilakukan setiap tahun.
Parangkusumo terletak di pesisir selatan Yogyakarta atau lebih tepatnya berada di wilayah Kabupaten Bantul. Parangkusumo merupakan tempat yang dipilih Panembahan Senopati untuk bertapa, merenung dan memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar bisa menjadi pemimpin yang baik. Menurut legenda, ketika bertapa Panembahan Senopati bertemu dengan penguasa laut selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Dalam pertemuan tersebut Kanjeng Ratu Kidul berjanji akan membantu Panembahan Senopati dan keturunannya. Pada akhirnya Panembahan Senopati berhasil mendirikan sebuah kerajaan, yaitu Mataram dan Keraton Yogyakarta merupakan salah satu kerajaan penerusnya. Hal inilah yang mendasari dipilihnya Parangkusumo sebagai salah satu lokasi labuhan.
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan. Labuhan dimaknai sebagai sebuah upaya manusia untuk selalu ingat kewajibannya merawat dan melindungi bumi yang telah memberikan ruang bagi segala hidup. Hal ini disimbolkan dengan dikembalikannya apa yang menjadi milik bumi melalui laut dan gunung (lambang keseimbangan dan kesucian alam).
Labuhan Parangkusumo merupakan upacara adat yang disakralkan masyarakat Yogyakarta. Kesakralan upacara ini terletak pada pranata Keraton yang harus dilakukan secara khusus, khidmat dan tidak boleh dilakukan sembarang orang. Pranata keraton merupakan manifestasi budaya yang bermakna membuang, menjatuhkan atau menghanyutkan benda-benda yang telah ditetapkan keraton agar sultan dan rakyatnya mendapatkan keselamatan.
Upacara adat Keraton Yogyakarta ini merupakan perwujudan doa persembahan kepada Tuhan atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada kraton dan rakyatnya juga sebagai tanda penghormatan bagi leluhur yang menjaga Parangkusumo yang menjadikan Bhumi Jogja istimewa dalam “Hamemayu Hayuning Bawono”.