Letak kawasan CA Batu Gamping berada di sebelah Barat Kota Yogyakarta dengan jarak ± 5,5 km. Secara geografis CA Batu Gamping berada pada koordinat 7°48’19,6” LS - 7°48’16,3” LS dan 110°19’11,084” BT - 110°19’14,3” BT. Secara administrasi CA Batu Gamping terletak di Dusun Gamping Tengah, Kalurahan Ambarketawang, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman.
Kawasan CA Batu Gamping hanya berupa bongkahan batu gamping dengan ukuran panjang ± 12 m, lebar ± 3 m dengan ketinggian ± 10 m yang berada di ketinggian ± 113 mdpl. Cagar Alam Batu Gamping memiliki luas 150 m2. Kawasan CA Batu Gamping berada di dalam kawasan TWA Batu Gamping, berbatasan langsung dengan blok religi, sejarah dan budaya TWA Batu Gamping.
Ekosistem CA Batu Gamping merupakan sisa ekosistem perbukitan gamping purba yang menyimpan fenomena geologi sebagai salah satu bukti sejarah awal terbentuknya Pulau Jawa. Berdasarkan keterdapatan fosil bentonik dari Foraminifera, hal ini menunjukkan bahwa Gunung Gamping tersusun dari batuan terumbu karang yang banyak mengandung fosil foraminifera besar yaitu pellatispira dan nummulites yang berumur Eosen Akhir atau sekitar 40-33 juta tahun yang lalu.
Berdasarkan potensi flora (tumbuhan) hasil inventarisasi tahun 2016, pada CA Batu Gamping terdapat 2 (dua) jenis paku-pakuan serta 6 (enam) jenis lumut. Paku-pakuan dan lumut tersebut tumbuh di batu gamping. Sedangkan jenis satwa yang dijumpai di CA Batu Gamping yaitu jenis serangga seperti laba-laba dan semut yang belum teridentifikasi jenisnya.
Selain itu CA Batu Gamping memiliki nilai sejarah terkait dengan peran pentingnya pada saat awal berdirinya kota Yogyakarta. Gunung Gamping saat itu merupakan sumber batu kapur terdekat yang digunakan sebagai salah satu bahan bangunan saat pembangunan kota Yogyakarta. Bangunan-bangunan bersejarah yang diperkirakan menggunakan batu kapur dari Gunung Gamping diantaranya yaitu Kraton Yogyakarta, Benteng Baluwarti dan Istana Air Taman Sari. Pada tahun 1883 dikeluarkan suatu aturan yang disebut “pranatan” yang membolehkan penggalian batu gamping. Sejak peraturan itu dibuat, terjadilah penggalian secara besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat Kota Yogyakarta. Maka Kota Yogyakarta pun terbangun dengan sumbangan kapur dari gunung Gamping ini. Selain itu, batu kapur dari Gunung Gamping pada era Sultan Hamengku Buwana VI digunakan dalam industri gula tebu untuk menjernihkan sari tebu. Tercatat sebanyak 19 pabrik gula yang beroperasi pada saat itu menggunakan kapur dari Gunung Gamping. Pada tahun 1860 saja, Kasultanan Yogyakarta menghasilkan 2.892 ton gula pasir. Volume produksi itu diperkirakan menggunakan 361,5 ton kapur dari Gunung Gamping.