Telisik Bhumi Jogja #1 Sumbu Imaginer Tak lagi Imaginer
By Dihin Nabrijanto (Biro PIWP2 Setda DIY)
Menelisik babad bumi Yogyakarta secara bentukan bumi banyak argumentasi yang menyebutkan bahwa dataran Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada Kala Pleistosen Awal. Argumentasi tersebut pertama kali dikemukakan oleh van Bemmelen (1949), dan dibenarkan oleh Hammilton (1979), Kadar (1987), Raharjo dkk. (1977), serta diacu oleh Andreastuti (2000), Mulyaningsih (1999), Ratdomopurbo dan Andreastuti (2000), dan lain-lain. Proses tektonisme tersebut hingga kini diyakini sebagai batas umur Kuarter di wilayah ini. Menurut Raharjo (2000), setelah pengangkatan Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga Gantiwarno dan Baturetno. Hal itu berkaitan dengan tertutupnya aliran air permukaan di sepanjang kaki pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah. Sayangnya, data umur batuan Kuarter yang mendukung argumentasi tersebut sangat jarang, karena lebih banyak membahas batu-batuan Tersier dan endapan-endapan Merapi berumur ±10.000 tahun hingga sekarang. Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tl, namun data umur K/Ar lava andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990) menentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak 0,67 jtl. Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan, barat daya, barat dan utara Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki gunung api yang berbatasan dengan Pegunungan Selatan dan Kulon Progo. Untuk membuktikan hipotesis tersebut, telah dilakukan studi stratigrafi dan penarikan umur dengan metode 14C. Data umur 14C juga didukung oleh data hasil penelitian Andreastuti (2000), Murwanto (1996), Mulyaningsih (2006), dan Newhall dkk. (2000).
Menurut Bambang Prastistho, dkk pada paparan menyibak babad bumi Jogja tanggal 18 April 2022, secara garis besar sejarah Geologi Yogyakarta dapat dibagi menjadi empat tahap:
Tahap ke-1 pengangkatan dasar samudera sehingga membentuk lingkungan litoral (laut dangkal) Tahap ke-2 kegiatan volkanisme besar-besaran yang membentuk busur gunungapi (volcanic island arc).di bagian selatan Pulau Jawa Tahap ke-3 kegiatan volkanisme reda yang memungkinkan perluasan lingkungan litoral. Tahap ke-4 kegiatan volkanisme aktif kembali, muncul kurang lebih di bagian tengah Pulau Jawa.
Proses vulkanik ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu membentuk bumi Yogyakarta menjadi begitu Istimewa karena Yogyakarta secara alamiah oleh sang pencipta dibentengi deretan pegunungan Menoreh disebelah Barat dan disebelah Timur di dindingi oleh deretan Pegunungan Sewu, hal ini menjadikan bumi Yogyakarta memiliki lorong/poros langsung yang terhubung antara utara dan selatan yakni Gunung Merapi di utara dan Samodra Hindia di sebelah selatan dimana pada poros/lorong itulah bumi Yogyakarta terbentuk.
Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa memiliki luas wilayah 3.186 km², secara Geografis Yogyakarta terletak di tengah-selatan Pulau Jawa, pada 8º 30' - 7º 20' Lintang Selatan dan 109º 40' - 111º 0' Bujur Timur. Sumber dari Wikipedia mencatat, berlandaskan bentang alam, wilayah Yogyakarta dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu :
- satuan fisiografi Gunungapi Merapi,
- satuan fisiografi Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu,
- satuan fisiografi Pegunungan Kulon Progo, dan
- satuan fisiografi Dataran Rendah.
Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, dengan ketinggian tempat berkisar 80 – 2911 mdpl, terbentang mulai dari kerucut gunung api sampai dataran fluvial gunung api termasuk juga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api adalah daerah hutan lindung sebagai kawasan resapan cairan daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di Sleman anggota utara. Gunung Merapi yang adalah gunung api aktif dengan karakteristik khusus.
Satuan Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, dengan ketinggian tempat diantara 150 – 700 mdpl, terletak di wilayah Gunungkidul, adalah kawasan perbukitan batu gamping (limestone) dan bentang alam karst yang tandus dan kekurangan cairan permukaan, dengan anggota tengah adalah cekungan Wonosari (Wonosari Basin) yang telah mengalami pengangkatan secara tektonik sehingga terbentuk menjadi Plato Wonosari (dataran tinggi Wonosari). Satuan ini adalah bentang alam hasil babak solusional (pelarutan), dengan bahan induk batu gamping dan ada karakteristik lapisan tanah dangkal dan vegetasi penutup sangat jarang.
Satuan Pegunungan Kulon Progo, dengan ketinggian tempat berkisar 572 mdpl, terletak di Kulon Progo anggota utara, adalah bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan lereng curam dan potensi cairan tanah kecil.
Satuan Dataran Rendah, dengan ketinggian tempat 0 – 80 mdpl, adalah bentang lahan fluvial (hasil babak pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di anggota selatan Yogyakarta, mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang bersamaan batasnya dengan Pegunungan Seribu. Satuan ini adalah daerah yang subur. Termasuk dalam satuan ini adalah bentang lahan marin dan eolin yang belum didayagunakan, adalah wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo sampai Bantul. Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis Bantul, yang terkenal dengan gumuk pasirnya, adalah laboratorium alam untuk kajian bentang alam pantai.
Keberadaan Yogyakarta atau Ngayogyakarta Hadiningrat menurut sejarah berdirinya merupakan hasil dari Perjanjian Giyanti yang ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi yang pada saat itu bertindak sebagai Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah dengan Nicolaas Hartingh dari VOC, perjanjian tersebut ditandatangani di Desa Giyanti pada panggal 13 Februari 1755.
Pangeran Mangkubumi memilih lokasi Yogyakarta saat ini tumbuh sebagai kota dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara topografi Yogyakarta terletak diantara 6 sungai yang mengapit secara simetris yaitu sungai code dan sungai winanga, sungai gajah wong dan sungai bedog serta sungai opak dan sungai progo, di sebelah utara terdapat gunung Merapi yang masih aktif dan sebelah selatan ada Laut Selatan atau Samodra Hindia.
Menurut Sukmono penentuan dan pemilihan lokasi Yogyakarta oleh Pangeran Mangkubumi dapat dianalogikan dengan pemilihan lokasi bangunan suci oleh orang-orang Hindu. Menurut kitab-kitab agama Hindu, bangunan seperti candi biasanya berlokasi di daerah yang kondisi alamnya berbeda dengan sekitarnya. Puncak Gunung dan lereng bukit daerah kekuatan vulkanik dataran tinggi yang menjulang diatas tepi lembah, pinggir sungai atau danau dan tempat bertemunya dua aliran sungai dianggap merupakan area yang baik untuk lokasi bangunan suci. Dengan penentuan lokasi Yogyakarta inilah, saat itu Pangeran Mangkubumi mencetuskan konsep Sumbu imajiner Gunung Merapi-Kraton-dan Laut Selatan.
Gunung disimbolkan sebagai ketenangan dan tempat yang suci, dataran pemukiman sebagai tempat aktivitas kehidupan manusia dan laut sebagai tempat pembuangan akhir dari segala sisa di bumi yang hanyut dan dihanyutkan ke laut. Penciptaan sumbu/poros imajiner ini selaras dengan konsep Tri Hitta Karana dan Tri Angga (Parahyangan– Pawongan–Palêmahan atau Hulu–Tengah–Hilir serta nilai Utama–Madya–Nistha). Sebuah konsep yang melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan penciptanya, manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam. Pada perjalanannya Sri Sultan Hamengku Buwana yang menyandang gelar Sayidin Panatagama Kalifatullah mengubah konsep poros/sumbu imaginer yang bernuansa Hinduistis menjadi konsep filosofi Islam Jawa yang sekarang dikenal sebagai “Hamêmayu Hayuning Bawana”.
Konsep Sumbu Imaginer dan Filosofi Hamemayu Hayung Bawono yang dicetuskan Pangeran Mangkubumi di hari ini masih terbukti relevan padahal hal tersebut telah tercetus berabad yang silam, bahkan sekalipun jika itu dikaitkan dengan proses bentukan bumi Yogyakarta, pemilihan Pangeran Mangkubumi terhadap lokasi Yogyakarta pada saat Perjanjian Giyanti ditandatangani, adalah menunjukkan betapa visioner dan geniusnya seorang Pangeran Mangkubumi, Carolus Prasetyadi seorang Geolog dari UPN Yogyakarta pada suatu kesempatan setengah berseloroh mengatakan “Jangan-jangan Pangeran Mangkubumi adalah seorang Geolog”, karena visi beliau terkait poros/lorong utara selatan yang beliau sebut sebagai “Sumbu Imaginer” poros/lorong khayal yang dibayangkan Pangeran Mangkubumi terbukti benar adanya dan bukan sesuatu yang imaginer/khayalan. Hal ini dibuktikan dengan ilmu geologi saat ini, dan bahkan poros/lorong/sumbu tersebut pada kenyataannya sampai hari ini dapat dikatakan sebuah lorong/poros/sumbu yang hidup. Dikatakan hidup karena Erupsi gunung Merapi sampai hari ini masih sering terjadi, hasil material muntahan gunung merapi secara pasti masih mengalir melalui sungai sungai yang mengapit Yogyakarta dari belahan utara Yogyakarta menuju Laut Selatan. Setibanya di bagian selatan material pasir gunung merapi yang dibawa oleh sungai sungai yang berlabuh di laut selatan, dengan serangkaian proses istimewa dari angin laut selatan yang terbentengi deretan pegunungan sewu terbentuklah Gumuk Pasir Barchan yang ada di Pantai Selatan Yogyakarta dan menjadi salah satu fenomena langka adanya Gumuk Pasir Barchan di daerah Tropis.
Keistimewaan lorong/poros/sumbu imaginer Gunung Merapi dan Pantai Selatan yang hidup hingga hari ini, sudah sejak lama menjadi bagian yang dirawat/diuri-uri oleh Kraton Ngayogyakarta, hal ini ditandai dengan prosesi upacara adat Labuhan di Gunung Merapi dan Pantai Selatan. Upacara Labuhan merapi dan labuhan di Pantai Selatan dilakukan setiap tahunnya oleh kraton yogyakarta. Labuhan dimaknai sebagai sebuah upaya manusia untuk selalu ingat kewajibannya merawat dan melindungi bumi yang telah memberikan ruang bagi segala hidup. Hal ini disimbolkan bahwa dengan dikembalikannya apa yang menjadi milik bumi melalui laut dan gunung yang merupakan dua lambang keseimbangan dan kesucian alam Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan, Labuhan Merapi dan Labuhan Parangkusumo merupakan upacara adat yang disakralkan masyarakat Yogyakarta, Kesakralan upacara ini terletak pada pranata keraton yang harus dilakukan secara khusus, khidmat dan tidak boleh dilakukan sembarang orang. Pranata keraton merupakan manifestasi budaya yg bermakna membuang, menjatuhkan atau menghanyutkan benda-benda yang telah ditetapkan keraton agar sultan dan rakyatnya mendapatkan keselamatan. Upacara adat Keraton Yogyakarta ini merupakan perwujudan doa persembahan kepada Tuhan atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada karaton dan rakyatnya juga sebagai tanda penghormatan bagi leluhur yang menjaga poros/lorong/sumbu Imaginer Gunung Merapi dan Pantai Selatan yang menjadikan bumi Jogja istimewa.
……. bersambung