Sejarah Berdirinya Yogyakarta
Geopark Jogja berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengapa disebut dengan daerah istimewa? Yogyakarta menjadi satu-satunya provinsi yang kepala pemerintahannya dipimpin oleh Raja dan menjadi satu-satunya kerajaan di Indonesia yang masih memiliki wewenang pada wilayahnya. Hal ini berlaku sejak tanggal 15 Agustus 1950, dimana pada saat itu Undang-Undang Republik Indonesia mengesahkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa yang setara dengan provinsi. Saat ini, Daerah Istimewa Yogyakarta dipimpin oleh Raja Kasultanan Ngayogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Cikal bakal lahirnya Kasultanan Ngayogyakarta, berasal dari hasil Perjanjian Perdamaian (Traktat Reconciliatie) yang disetujui dan ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi dan Nicolaas Hartingh yang mewakili VOC di Desa Giyanti pada tahun 1755 (Perjanjian Giyanti). Perjanjian ini menyebabkan wilayah Kesultanan Mataram terbagi dua menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Sunan Paku Buwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terletak di antara enam sungai yang mengapit secara simetris, yaitu Sungai Codé dan Winanga di ring pertama, Sungai Gajahwong dan Kali Bêdog di ring kedua, serta Sungai Opak dan Sungai Progo di ring ketiga. Selain itu, di sebelah utara terdapat Gunung Merapi yang masih aktif dan di sebelah selatan terdapat Laut Selatan. Pemilihan lokasi Yogyakarta ini tidak terlepas dari kejeniusan Pangeran Mangkubumi dan keyakinannya dalam memegang teguh nilai historis maupun filosofis, yang sangat dipercaya akan berpengaruh terhadap sikap perilaku dirinya sebagai raja sampai pada para kawulanya.
Pangeran Mangkubumi memilih Yogyakarta sebagai ibukota kerajaan dengan pertimbangan geografis, sosial - budaya, pertahanan dan politis, serta kota yang penuh makna filosofi menggunakan pendekatan konsep Tri Hitta Karana dan Tri Angga (Parahyangan–Pawongan–Palêmahan atau Hulu–Tengah–Hilir serta nilai Utama–Madya–Nistha). Parahyangan yang berada di puncak gunung (diwakili Gunung Merapi) merupakan tempat bersemayamnya para dewa atau sebagai ketenangan tempat suci. Pawongan yang berada di dataran pemukiman (Kraton) sebagai tempat aktivitas kehidupan manusia. Palemahan yang berada di laut (Laut Selatan) sebagai tempat pembuangan akhir dari segala sisa di bumi yang hanyut dan dihanyutkan ke laut .Dengan setting lokasi seperti inilah Pangeran Mangkubumi menciptakan sumbu/garis imajiner Gunung Merapi– Kraton–Laut Selatan.
Secara simbolis filosofis, garis imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya, yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan akasa/angkasa (ether). Demikian juga tiga unsur yang menjadikan kehidupan (fisik, tenaga dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis garis imajiner tersebut. Sri Sultan Hamengku Buwana mengubah konsep filosofi garis imajiner yang Hinduistis ini menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Hamemayu Hayuning Bawana” dan “Manunggaling Kawula lan Gusti”.