Yogyakarta bumi yang lahir dari pelukan gunung dan tumbuh dibuaikan samudra, tersohor bukan hanya dari jejak sejarah peradabannya yang adi luhung, dataran bumi Jogja juga menghadirkan beragam ke istimewaan. Geliat dan aktivitas perut bumi  era pembentukan dataran Jogja dapat di ibaratkan sebagai kawah candradimuka, sebuah media yang dikemudian hari melahirkan dataran bumi Jogja melalui empat masa utama, meliputi Masa Samudera Purwa (sekitar 36-60 juta tahun lalu), Masa Gunungapi Purba (16-36 juta tahun lalu), Masa Samudera Jaya/Setelah Gunungapi Purba (2-16 juta tahun lalu), dan Masa Gunungapi Seba (masa kini). Proses pembentukan ini melibatkan pergerakan lempeng tektonik, aktivitas gunung api, erosi, dan sedimentasi yang membentuk lanskap geological khas Yogyakarta hingga kini. Proses-proses geologis selama empat masa ini telah membentuk berbagai jejak dan warisan geologi di Yogyakarta yang menjadikan bumi Jogja bagaikan perpustakaan terbuka dan referensi alam berbagai ilmu pengetahuan. Kondisi geologis Jogja merupakan hasil dari kombinasi berbagai proses yang saling berinteraksi, mulai dari aktivitas gunung berapi yang membentuk lanskap hingga aktivitas tektonik yang menghasilkan pergerakan sesar, serta proses alam lainnya seperti fluvial, eolian, dan karst yang menciptakan keragaman bentuk lahan. 

Diantara keberagaman bentang lahan bumi Jogja, hadirnya poros yang mengkoneksikan antara sosok Merapi sebagai awal muasal material sumber dari dataran bumi Jogja dan pantai selatan sebagai zona sendimentasi atau akumulasi perjalanan akhir isi perut Merapi. Poros alami yang hidup ini, ibarat darah dan urat nadi kehidupan Yogyakarta yang kemudian diberi nama sumbu imajiner oleh Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I kala itu.  Sebuah garis tak kasat mata yang hidup dan menghidupi peradaban dan bumi Yogyakarta sejak lahirnya hingga hari ini.

Sumber: Instagram @damskyproject

Diseputar dan disepanjang garis inilah peradaban Jogja tumbuh dari masa kemasa, ada masa   warisan peradaban Hindu-Buddha pada masa Kerajaan Mataram Kuno (sekitar abad ke-8 hingga ke-10), yang meninggalkan banyak situs seperti Candi Prambanan, Candi Morangan, Candi Kedulan, candi Kadisoka, candi Sambisari dan masih banyak lainnya yang banyak bercerita terkait  peradaban Mataram pada masanya. Pada masa ini sebagian poros imajiner merupakan rumah bagi agama dan budaya Hindu-Buddha, sebagaimana dibuktikan dengan adanya Candi Prambanan, situs Ratu Boko, Candi Kalasan, dan berbagai candi lainnya di wilayah tersebut. Meskipun pada akhirnya pusat Kerajaan Mataram Kuno awalnya berada di Jawa Tengah dan seputar Yogyakarta dan kemudian berpindah ke Jawa Timur, Yogyakarta tetap menjadi lokasi penting bagi ditemukannya banyak prasasti dan candi yang menjadi bukti keberadaan peradaban ini.

Pengakuan dunia akan artefak peradaban adiluhung yang mewakili periode ini   disematkan   tahun 1991, Candi Prambanan ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada 13 Desember 1991. Nilai pentingnya adalah sebagai kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia, manifestasi puncak arsitektur dan seni klasik Indonesia, serta bukti kejayaan peradaban Hindu dan kerukunan umat beragama di masa lalu. 


Berakhirnya masa Mataram Kuno di Yogyakarta dan Peralihan dari Mataram Kuno ke Mataram Islam bukanlah transisi langsung, melainkan dua kerajaan terpisah yang berbeda pada abad ke-8 Masehi (Hindu-Buddha) dan abad ke-16 Masehi (Islam). Mataram Islam didirikan oleh Sutawijaya atau Panembahan Senopati setelah runtuhnya Kerajaan Pajang, dengan Panembahan Senopati sebagai pendiri dan raja pertamanya yang mempromosikan Islam di wilayah Kotagede. Sementara itu, Mataram Kuno berakhir pada abad ke-10 Masehi akibat serangan dan perpindahan pusat kekuasaan ke Jawa Timur. 

Periode Mataram Islam diawali pada 1532 M berdirinya Kerajaan Mataram Islam dengan Raja pertamanya Panembahan Senopati di Kotagede sebuah wilayah di Yogyakarta, Kerajaan ini mencapai kejayaan pada abad ke-17 di bawah pemerintahan Sultan Agung, yang berhasil memperluas wilayah serta mengembangkan budaya dan sistem pemerintahan. Namun, akibat konflik internal dan intervensi VOC, Mataram akhirnya terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755 melalui Perjanjian Giyanti.  Kesultanan Ngayogyakarta sejak awal keberadaanya menjadi  konduktor orchestrasi peradaban adiluhung yang memadu serasikan  aktivitas manusia,  keanekaragaman hayati dan hasil olah pikir manusia (budaya) melalui konsep pola ruang dan tata ruang yang berlandas Hamemayu Hayuning Bawono sekaligus menjadi visi besar roda pembangunan Yogyakarta.  

Pada era peradaban inilah  konsep bangun Sumbu Filosofi yang  berasal dari konsep Sangkan Paraning Dumadi lahir, yang sejatinya merupakan falsafah Jawa tentang asal-usul (sangkan) dan tujuan (paran) keberadaan (dumadi) manusia. Sumbu filosofi ini diwujudkan melalui penataan ruang kota Yogyakarta, mulai dari Panggung Krapyak di selatan, Keraton Yogyakarta di tengah, hingga Tugu Pal Putih di utara, yang secara simbolis menggambarkan perjalanan hidup manusia dari kelahiran hingga kembali kepada Sang Pencipta. Atas kejeniusan Sultan HB I dan konsep pikir ini, Sumbu Filosofi Yogyakarta   diakui UNESCO pada 18 September 2023 sebagai Warisan Dunia (The Cosmological Axis of Yogyakarta), menegaskan nilai universalnya dalam tata ruang kota, spiritualitas, dan kosmologi Jawa yang menterjemahkan aspek microcosmos masyarakat Jogja Pengakuan ini penting untuk melestarikan warisan budaya, menanamkan nilai-nilai harmoni manusia dengan alam, Tuhan, dan sesama kepada generasi mendatang, serta menjadi inspirasi global dalam menjaga tradisi.


Bagian lain yang masih menjadi babak cerita Babad Bumi Jogja, Geopark Gunung Sewu diakui sebagai UNESCO Global Geopark pada 19 September 2015, menjadikan Gunung Sewu sebagai geopark global kedua di Indonesia, setelah Geopark Batur di Bali . Penetapan ini didasarkan pada pengakuan terhadap keragaman geologis, biologis, dan budaya yang mencakup wilayah Gunungkidul (Yogyakarta), Wonogiri (Jawa Tengah), dan Pacitan (Jawa Timur). Keunikan Geopark Gununng Sewu  segmen Yogyakarta terletak pada karakteristik karstnya yang membentuk ribuan bukit kerucut. Formasi Karst Conical Hills, hydrologi karts, sistem sungai bawah tanah, gua, serta pantai dengan tebing dan pasir putih. Pengakuan ini mendorong konservasi warisan geologi, ekologi, dan budaya, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pariwisata dan aktivitas ekonomi lokal yang berkelanjutan.

Babad bumi Jogja tidak hanya  bercerita tentang perjalanan peradaban manusia Jogja namun,  keistimewaan flora fauna, mikro organisme, keanekaragaman hayati bumi Jogja yang merupakan supporting system dalam kehidupan, bagaikan fondasi kehidupan yang menunjang berbagai aspek kehidupan manusia, keberadaannya bukan sekedar hanya enak dilihat   namun memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan manusia.  

Keistimewaan keanekaragaman hayati lereng Merapi dan Menoreh terletak pada perpaduan ekosistem hutan hujan dan sabana, keberadaan berbagai jenis flora (termasuk anggrek langka) dan fauna yang adaptif, serta fungsinya sebagai sumber plasma nutfah dan peran ekologisnya dalam penyebaran benih. Kawasan ini juga merupakan habitat bagi jenis-jenis burung, reptil, mamalia, dan artropoda, yang menjadikannya lokasi penting untuk konservasi dan edukasi. 

Keunikan ekosistem Lereng Merapi menunjukkan perpaduan unik antara ekosistem hutan hujan tropis di bagian barat dan ekosistem sabana di bagian timur, menciptakan lingkungan yang kaya secara hayati. Terdapat berbagai jenis tumbuhan, mulai dari pohon, perdu, bambu, hingga lumut dan anggrek. Beberapa spesies anggrek langka juga ditemukan di kawasan ini, seperti Anggrek Kasut atau Anggrek Selop. Kawasan ini merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan, termasuk 15 jenis mamalia, 199 jenis burung, 25 jenis reptilia, 29 jenis amfibi, dan beragam jenis artropoda. Contoh fauna yang ditemukan meliputi Anis Gunung, Elang Jawa, dan Lutung Jawa. 

Atas keunikan keanekaragaman hayati yang ada, Yogyakarta kembali mendapat pengakuan dunia melalui penetapan Cagar Biosfer Merapi Merbabu Menoreh oleh UNESCO pada 28 Oktober 2020 dalam sidang ke-32 Program Man and the Biosphere (MAB). Dengan Wilayah Cakupan  kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, Taman Nasional Gunung Merbabu, dan Suaka Margasatwa Sermo. Penetapan ini didasari oleh keunikan keanekaragaman hayati, biogeografi, dan budaya kawasan tersebut, yang kini menjadi bagian dari Jaringan Cagar Biosfer Dunia (World Network of Biosphere Reserves).


Yogyakarta tumbuh pesat seiring berjalannya waktu, sesanti Hamemayu Hayuning Bawono menjadikan Yogyakarta tumbuh hingga dapat menyandang berbagai status, seperti, Daerah Istimewa, Kota Pelajar, Kota Budaya, Kota Pariwisata, Kota Perjuangan, Kota Gudeg, dan Kota Batik, yang merefleksikan sejarah, pendidikan, budaya, ekonomi, dan karakteristik unik lainnya.

Hari ini pernyataan pengajuan Geopark Jogja  menjadi aspiring UNESCO Global Geopark, dapat dikatakan menjadi Saga terakhir, puncak dari upaya Yogyakarta dalam upaya menjaga warisan bumi, alam dan budayanya, yang sekaligus menggambarkan bahwa upaya untuk meraih status UNESCO Global Geopark (UGGp) merupakan episode akhir dari  cerita "Babad Bhumi Jogja" yang bercerita tentang berbagai keistimewaan Yogyakarta hingga mungkin dapat dikatakan

“Yogyakarta is wherever your eyes look, wherever your feet tread, it is a world heritage”

Oleh Dihin Nabrijanto (General Manager Geopark Jogja)